Kalau lah sudah 'akad nikah Badirilah adat marapulai Datangnyo bajapuik-japuik Painyo bahanta-hanta Sarato arak dengan iriang Baiakpun alek dengan jamu Bak apo pakai nan biaso Bahasa Indonesianya : Bila telah selesai 'Akad nikah Berdirilah adat marapulai Datangnya karena berjemput Perginya karena berantar Serta arak dengan iring Baikpun helat dengan jamu Sebagaimanan kebiasaan yang terpakai Adat menjeput marapulai setelah upacara keagamaan yang disebut akad nikah berlangsung. Pada zaman dahulu upacara tersebut selalu diadakan di mesjid. Akan tetapi dewasa ini upacara keagamaan itu dapat berlangsung di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sebagaimana diketahui bahwa setelah akad nikah pengucapan ijab dan kabul itu, maka telah sah status suami istri dari kedua belah pihak yang terlibat di dalam upacara termaksud. Akan tetapi lelaki yang baru saja mendapat status suami itu, baru dapat mendatangi rumah isterinya, setelah di dijemput menurut adat nan berlaku di Minangkabau.
Apabila terjadi penyimpangan yang disebabkan pertimbangan pertimbangan tertentu, dalam hal ini upacara 'akad nikah' berlangsung di rumah anak daro, maka hal tersebut terlaksana bila ada persetujuan kedua belah pihak terlebih dahulu. Persetujuan termaksud disebutkan dalam adat :
Abih adat bakarilahan Abih cupak di palilihan Cancang aia indak putuih Cancang abu tak babakeh
Bahasa Indonesianya : Habis adat karena saling merelakan Habis cupak karena pelilihan Cancang air tidak putus Cancang abu tidak berbekas
Maksudnya dalam hubungan bermasyarakat, adat memberi beberapa kelonggaran dalam pelaksanaan adat itu sendiri. Dengan syarat adanya kerelaan antara kedua belah pihak anggota masyarakat untuk tidak mengikuti jalur adat sepenuhnya didalam suatu kasus tertentu, disebabkan kesulitan teknis atau pertimbangan-pertimbangan l Zainnya. Maka dengan demikian hubungan bermasyarakat selanjutnya akan tetap seutuh air ataupun seutuh setumpuk debu, dimana "air tercencang tak akan putus dan abu tercencang tak akan berbekas".
Dalam hal tersebut diatas, maka marapulai dijemput sumando sebelum terjadinya akad nikah. Jadi adat marapulai telah dilaksanakan mendahului upacara keagamaan dengan mengisi adat sepenuhnya sebagaimana dilazimkan. Petugas panjapuik Marapulai Oleh karena marapulai akan pergi bersumando ke rumah nan bermamak,maka adalah haknya menurut adat untuk dijemput oleh pihak mamak yang bersangkutan. Dalam mamak itu sendiri yang pergi menjemput marapulai tersebut. Akan tetapi pihak mamak menyerahkan tugas itu kepada seseorang "yang duduk sama rendah - tegak sama tinggi" di dalam adat dengan marapulai termaksud, yaitu sama-sama urang sumando dalam rumah nan bermamak.
Untuk acara selanjutnya setelah penyerahan itu, maka urang sumando itulah yang pergi membawa adat sebagai penjemput marapulai dan urang sumando itu pulalah yang menanti kedatangan marapulai dengan sirih di carano di halaman rumah anak daro sebelum dia dipersilahkan naik ke rumah isterinya itu. Jadi dengan demikian maka jelaslah bahwa marapulai tersebut menurut adat : Datang bajapuik jo bingkisan Tibo bananti jo carano
Bahasa Indonesianya : Datang berjemput dengan bingkisan Tiba bernanti dengan cerana Bingkisan Panjapuik Bingkisan adat yang dibawa urang sumando sewaktu menjemput marapulai, berisi pesan-pesan dan amanat. Pesan dan amanat itu tersimpul dalam berbagai macam alat dan rempah-rempah yang terdapat dalam bingkisan tersebut, yang berasal dari : "Orang-orang dalam induk dan suku - urang ampek jinih - urang sumando - mamak rumah dan ibu bapak - serta anak daro sendiri" yang ditujukan kepada pihak marapulai. Sesampainya petugas penjemput di rumah ibu marapulai, maka bingkisan adat itu disampaikan kepada pihak yang menanti dengan tata cara adat pula. Dalam hal ini pihak yang menanti biasanya terdiri dari mamak adat atau mamak pusako dan urang sumando beserta orang yang patut di dalam rumah itu.
Adapun bingkisan panjapuik itu biasanya tujuh macam yang masing-masing sebagai tersebut dibawah ini : 1. Sirih langkok 2. Sirih Sekapur 3. Rokok 4. Beras dalam kambut 5. Uang logam 105 rupiah 6. Lilin jo ambalau 7. Saputangan
Barang-barang tersebut dimasukkan ke dalam carano yang ditutupi dengan"dalamak" (aleh lamak), atau dibungkus rapi dalam saputangan putih bila putusan bersama menentukan demikian. (Catatan : cara-cara yang tersebut diatas telah banyak berobah di zaman kini, yang dirobah dan disepakati oleh Buek Nan Balingka). Kesimpulan Sebelum kita sampai pada suatu kesimpulan tentang pelaksanaan adat marapulai yang pertama, yaitu "datangnya bajapuik" sebagaimana yang telah diuraikan di atas,maka dianggap perlu mempertanyakan lebih dahulu sebabnya orang lelaki dijemput di Minangkabau dan bukan orang perempuan yang diberi uang jujur. Hal yang menyebabkan seorang lelaki dijemput untuk dijadikan urang sumando, adalah karena urang sumando itu gunanya untuk memperkembang suku dan memperbanyak kemenakan.
Gunanya suku diperkembang dan anak kemenakan diperbanyak adalah untuk menghindari halangan yang akan timbul dalam pelaksanaan "patah tumbuah hilang baganti" dalam suku itu, yaitu penggantian pemimpin masyarakat adat yang disebut penghulu apabila dia mati.
Sebab ada tiga hal yang merupakan sangkutan (halangan) dalam mendirikan penghulu itu, dua diantaranya ialah : 1. belum ada yang akan memakai gelar pusaka, yaitu pada waktu penghulu mati, hanya orang perempuan saja yang ada dalam kaumnyaitu.Maka menjelang ada laki-laki yang akan memakainya, "dibenamkan"atau "dilipat"dulu gelar pusaka tersebut. 2. Tidak adanya yang akan diperintahi. Pada waktu seorang penghulu mati,hanya satu orang saja yang laki-laki di dalam kaumnya,maka karenanya "dilipat"dulu gelar itu. Sekarang sampailah kita pada kesimpulan tentang hal-hal sebagaimana yang telah diuraikan diatas, bahwa adat marapulai "datangnyo bajapuik"dengan segala rukun syarat dan tata upacaranya itu perlu dipertahankan karena :
1. Seorang laki-laki yang akan dijadikan urang sumando itu gunanya untuk memperkembangkan suku dengan memperbanyak anak dan kemenakan 2. Urang sumando yang dijemput itu akan menduduki posisi pemimpin yaitu sebagai kepala keluarga dalam rumah nan bermamak yang bertugas mengelola organisasi rumah tangganya serta bertanggung jawab terhadap kesejahteraan sosial anggota organisasinya yang terdiri dari isterinya dan anak-anaknya. 3. Nikah dengan perempuan dan kawin dengan ninik mamak serta korong kampung itu, benar-benar sudah disetujui oleh semua pihak, yang dalam hal ini dilambangkan dengan bingkisan panjapuik menurut adat, yaitu : - "Siriah Langkok " dari kaum keluarga , - "Siriah Sekapur" dari urang Ampek Jinih, - "Rokok" dari pihak urang sumando, - "Beras dalam kambur" dari ibu bapak sebagai lambang pengadaan jaminan sosial - " Uang jemputan" dari pihak anak daro yang merupakan pengakuan terhadap urang sumando itu bahwa dia adalah lelaki yang mempunyai martabat dalam adat dan berasaldari keluarga terhormat di dalam masyarakat adat, - "Lilin jo ambalau" dari seluruh keluarga perlambang harapan dan kesungguhan bahwa hubungan yang diharapkan adalah hubungan yang kekal, - "Saputangan" dari anak daro sebagai perlambang bahwa jemputan tersebut benar-benar telah disetujui pula oleh anak daro sendiri, jadi bukan adanya paksaa dari kaum keluarganya.
4. Dengan dipertahankannya adat menjeput marapulai ini, akan menimbulkan rasa tanggung jawab yang lebih besar bagi orang lelaki yang pergi sumando itu terhadap rumah tangganya nanti, karena dia dan kaum keluarganya sudah mengetahui dan melihat sendiri sikap dan minat yang sungguh -sunggu dari pihak isterinya terhadap dirinya. 5. Dengan mengabaikan adat tersebut atau tidak mengisi sepenuhnya rukun syarat bingkisan penjemput marapulai itu akan menimbulkan kesan sebaliknya yang akan selalu menjadi teka-teki yang sukar dicarikan jawabannya. Jadi dari kesimpulan tersebut diatas, jelaslah bagi kita bahwa "Adat Manjapuik Marapulai" yang merupakan Adat Nan Diadatkan itu, dibuat dan ditetapkan oleh Ninik Mamak dan para Cerdik Pandai zaman dahulu bukanlah merupakan hal yang nonsens sama sekali. Akan tetapi adat termaksud mempunyai arti falsafah dalam pelaksanaan pergaulan hidup di dalam masyarakat adat Minangkabau. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar